26. APLIKASI TAUHID DALAM PRAKTEK KEHIDUPAN
بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh : Abu Harits E. Badru Tamam, Lc.
Allah
swt adalah Ar Rahim. Diantara rahmat yang telah Ia anugerahkan kepada para
hamba-Nya adalah Ia menghidupkan jiwa-jiwa mereka dengan wahyu-Nya dan
meneranginya dengan caha-Nya. (Lihat : QS. Asy Syura : 52)
Allah
telah mengeluarkan manusia dengan wahyu-Nya ini dari kehidupan yang penuh
dengan kegelapan kepada kehidupan yang penuh dengan cahaya. Dari kegelapan
kekufuruan, kesyirikan dan kebodohan, menuju cahaya Islam dan kebenaran. (Lihat
: QS. Ibrahim : 5)
Mengeluarkan
manusia dari kegelapan kepada cahaya tidak akan bisa diwujudkan kecuali dengan
cara memberikan pelajaran kepada mereka tentang ajaran-ajaran Rabnya,
mensucikan jiwa mereka dengan cara mengenalkan tentang dzat-Nya, nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, mengenalkan kepada mereka tentang malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya serta memahamkan kepada mereka hal-hal yang
dapat memberi manfaat dan yang dapat memberi mudharat, juga mengenalkan kepada
mereka jalan untuk mendekatkan diri dan meraih cinta-Nya. (Lihat : QS. Al
Jum’ah : 2)
Oleh
karena itu Allah swt mengutus para rasul-Nya sebagai nikmat yang sangat agung
kepada para hamba-Nya untuk merealisasikan tugas-tugas tersebut di atas. (Lihat
: QS. Ali Imran : 164 dan Al Hujurat : 17)
Apabila
kita melakukan taammul (kajian dan telaah) terhadap kisah para rasul yang
diceritakan dalam Al Qur’an beserta kejadian yang terjadi antara mereka dan
para kaumnya, kita akan mendapati bahwa mereka sepakat untuk menjalankan satu
dakwah, yaitu menyeru umat untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak
mensekutukan-Nya dengan sesuatu pun serta menyeru umat untuk menjauhi syirik
dan wasailnya, meskipun syari’at mereka berbeda-beda.
Dakwah
kepada tauhidullah dan melarang umat dari berbuat syirik merupakan permasalahan
utama dan pertama yang disebutkan di dalam Al Qur’an bersama kisah para rasul
dan umat-umatnya. (Lihat : QS. Al Anbiya : 25 dan An Nahl : 36)
DR.
Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan : “Ini merupakan tujuan utama
dan pertama yang dapat menciptakan maslahat bagi umat manusia baik urusan dunia
maupun dinnya”.
Tapi
perlu dicatat bahwa ini bukan berarti mereka (para Rasul) tidak memberikan
perhatian terhadap perbaikan kerusakan-kerusakan lainnya yang menimpa umat dan
bukan pula berarti mereka tidak menyerukan kebaikan-kebaikan lainnya.
Sebagaimana kisah dakwahnya nabi Hud, nabi Shalih, nabi Luth dan nabi Syuaib.
Dizaman
kita sekarang ini juga kemungkaran itu bukan hanya syirik saja. Ada kemungkaran dalam
bentuk sekularisme, berhukum dengan hukum selain hukum Allah, memerangi Islam
dan para ulamanya, pemberangusan gerakan-gerakan Islam dan penculikan para
aktifisnya.
Ringkasnya,
tauhid adalah kebaikan yang paling agung, dan syirik adalah kerusakan dan
kezhaliman yang paling besar.
Oleh
karena itu, dakwah apapun yang tidak dilandaskan kepada asas aqidah ini, kapan
dan di mana saja adalah “Dakwah Qashiroh Naqishah”, dihawatirkan akan
mengakibatkan kegagalan atau penyimpangan dari jalan yang lurus, bahkan akan
mengakibatkan kedua-duanya. Karena hal ini merupakan permasalahan yang sangat
prinsipil, siapa yang lengah dan lalai pasti ia akan terjerumus ke dalam
kubangan syirik dan bid’ah.
Para da’i mempunyai kewajiban dan amanat yang cukup
berat, yaitu meluruskan fikrah dan aqidah yang menyimpang serta memperbaiki
jiwa-jiwa manusia dan mensucikannya dari segala kotoran yang dapat menutup hati
mereka.
Allah
swt menciptakan jin dan manusia semata-mata untuk beribadah kepada-Nya
sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam ayat-ayat-Nya (Lihat : QS. Adz
Dzariyat : 56, An Nisa : 36 dan Al Isra : 23).
Para
Ulama telah menafsirkan pengertian ibadah dengan beberapa
pengertian yang hampir mirip dengan yang disebutkan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah : “Ibadah adalah nama yang mencakup segala yang dicintai
Allah dan diridhai-Nya yang berupa perkataan dan perbuatan, yang lahir dan yang
batin”.
Syaikh
Abdul Aziz bin Baz mengatakan : “Hal ini menunjukan bahwa ibadah itu
mengharuskan ketundukan mutlak kepada Allah swt, baik berupa perintah,
larangan, kepercayaan, perkataan dan perbuatan. Kehidupan seseorang haruslah
berdiri di atas syariat Allah, menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan
mengharamkan apa yang diharamkan Allah. Dia harus tunduk dalam prilaku,
perbuatan dan semua sikapnya kepada syari’at Allah, menjauhi keinginan jiwa dan
dorongan nafsunya”.
Tidaklah
disebut sebagai hamba Allah, orang yang tunduk kepada Rabbnya hanya dalam
sebagian asfek kehidupannya saja, sementara dia tunduk kepada makhluk pada
asfek kehidupan lainnya. Itu sama sekali bukan cerminan dari Aqidah Islamiyah
yang benar. (Lihat : QS. An Nisa : 65 dan Al Maidah : 50).
Syaikh
Abdul Aziz bin Baz mengatakan : “Barang siapa yang tunduk kepada Allah,
ta’at kepada-Nya dan berhukum kepada wahyu-Nya, maka dialah hamba Allah. Namun
barang siapa tunduk kepada selain Allah dan berhukum kepada selain hukum-Nya,
maka dia telah menyembah thaghut dan tunduk kepadanya”. (Lihat : QS. An Nisa :
60)
Kemudian
beliau melanjutkan : “Ibadah kepada Allah semata dan berlepas diri dari
penghambaan kepada thaghut, sekaligus berlepas diri dari yang berhukum kepada
thaghut adalah merupakan tuntutan dari syahadat “La Ilaha Illallah Wahdahu La
Syarika Lah wa Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluh”.
Jelaslah
sudah, bahwa jika seseorang mengetahui bahwa berhukum kepada syari’at Allah
merupakan konsekwensi Syahadat (tuntutan Aqidah Tauhid), maka berhukum kepada
hukum thaghut, dukun, peramal dan hukum buatan manusia lainnya yang
bertentangan dengan hukum Allah, akan dapat menghilangkan (menghapus) keimanan
kepada Allah swt. Tindakan ini adalah suatu kekafiran, kefasikan dan
kezhaliman. (Lihat QS. Al Maidah : 44,45, dan 47).
APLIKASI TAUHID DALAM KEHIDUPAN
Sebagaimana
yang telah disepakati oleh seluruh ulama Ahlussunnah wal jamaah mulai dari
kalangan shahabat sampai ulama muta’akhirin, bahwa iman adalah “Qoul wal
Amal” perkataan dan perbuatan. Oleh karena itu seseorang belum
dikatakan beriman dan bertauhid kepada Allah swt dengan sebenar-benarnya
sebelum ia mengaplikasikan dan menerapkannya dalam kehidupannya sehari-hari
baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat maupun kehidupan bernegara.
Al-Imam Ibnul Qayyim Al
Jauziyyah berkata :
ليس
التوحيد مجرد إقرار العبد بأنه لا خالق إلا الله وأن الله رب كل شيء ومليكه ، كما
أن عباد الأصنام مقرين بذلك وهم مشركون ، بل التوحيد يتضمن من محبة الله والخضوع
له ، وإرادة وجهه الأعلى بجميع الأقوال والأعمال ... فإن الشارع صلوات الله وسلامه
لم يجعل ذلك حاصلا بمجرد قول اللسان فقط ، فإن هذا خلاف المعلوم بالاضطرار من دين
الإسلام لأن المنافقين يقولونها بألسنتهم وهم تحت الجاحدين لها في الدرك الأسفل من
النار
“Tauhid bukan hanya sekedar
ikrar seorang hamba bahwa tidak ada pencipta kecuali Allah dan bahwasanya Allah
adalah Rabb segala sesuatu dan pemiliknya sebagaimana yang telah diikrarkan
oleh para penyembah berhala (kafir Quraisy) padahal mereka musyrik. Akan tetapi
tauhid yang sebenarnya adalah meliputi cinta kepada Allah, tunduk kepada-Nya
dan meniatkan seluruh perkataan dan perbuatannya hanya untuk mencari ridha-Nya…
Sesungguhnya Rasulullah saw tidak menjadikan tauhid seseorang sah dengan
sekedar kata-kata lisan. Hal demikian itu bertentangan dengan perkara yang
sudah maklum dari dinul Islam, karena orang-orang munafik juga telah
mengucapkannya padahal mereka mengingkarinya dan kelak tempatnya di neraka yang
paling bawah.”
Adapun aplikasi nyata dari tauhid
atau iman dapat kita ringkas sebagai berikut :
1. Tahkimusy-Syari’ah (menerapkan Syari’ah Islam)
Imam Ibnu Qoyyim berkata :
والتصديق بلا إله إلا الله يقتضي الإذعان والإقرار بحقوقها وهي شرائع
الإسلام التي هي تفصيل هذه الكلمة ، بالتصديق بجميع أخباره وامتثال أوامره واجتناب
نواهيه ... فالمصدق بها على الحقيقة هو الذي يأتي بذلك كله
“Tashdiq kepada “La ilaha illallah” menuntut ketundukan dan
pengakuan terhadap hak-haknya yaitu syari’at Islam yang merupakan perincian
kalimat ini (kalimat tauhid) dengan cara membenarkan seluruh berita-Nya,
melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Maka
yang benar-benar yakin kepada kalimat tersebut adalah orang yang sudah
melaksanakan semuanya tersebut.”
Tidak diragukan lagi bahwa
peminggiran dan tidak diterapkannya syari’at Islam dalam seluruh aspek kehidupan merupakan penyelewengan tauhid
paling parah dan berbahaya dalam masyarakat Islam. Akibat yang ditimbulkan dari tidak diterapkannya hukum Allah di
negeri-negeri kaum muslimin adalah terjadinya berbagai fasad (kerusakan) dan
kezhaliman serta kehinaan yang menimpa kaum muslimin.
Allah swt telah mewajibkan berhukum
dengan syari’at-Nya kepada hamba-hamba-Nya dan menjadikannya sebagai tujuan
diturunkannya Al-Qur’an. (Lihat : QS. Al-Baqarah : 213, An-Nisa : 105, Yusuf :
40, dan Al-An’am : 57)
Ayat-ayat Al-Qur’an menegaskan bahwa
berhukum dengan hukum Allah adalah sifat orang-orang beriman, sedang berhukum
dengan selain hukum Allah yaitu hukum thaghut dan jahiliyah adalah sifat
orang-orang munafiq. (Lihat QS. An-Nur : 47-51 dan An-Nisa : 59-62)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menerangkan makna ayat ini dengan mengatakan :
“Allah
mencela orang-orang yang mengaku beriman kepada seluruh kitab suci, namun
mereka meninggalkan berhukum kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dan berhukum kepada
sebagian thaghut yang diagungkan selain Allah, sebagaimana yang menimpa
kebanyakan orang-orang yang mengaku beragama Islam tetapi dalam masalah hukum
mereka merujuk kepada perkataan para filosof atau kepada sistem hukum sebagian
raja-raja yang keluar dari syari’ah Islam seperti raja-raja Turki dan lainnya.”
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha
juga berkata :
“Ayat ini menyatakan bahwasanya
orang yang menentang atau berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya secara
sengaja, apalagi setelah ia diajak untuk berhukum dengan keduanya dan
diingatkan akan wajibnya hal itu, ia telah menjadi munafiq dan pengakuan
keimanan serta keislamannya tidak dianggap lagi.”
Dari sini kita dapat menjelaskan urgensi
mentauhidkan Allah dalam masalah hukum dan menjelaskan kedudukan
berhukum dengan hukum Allah dalam point-point berikut :
A. Kedudukannya ditinjau dari Tauhid Ibadah
Sesungguhnya berhukum dengan hukum Allah
berarti memurnikan ketaatan kepada Allah semata, sedangkan ketaatan merupakan
salah satu bentuk dari bentuk-bentuk ibadah, maka tidak boleh ditujukan kecuali
kepada Allah semata. (Lihat : QS. Yusuf : 40 dan Al-Qashash : 70)
Ibadah kepada Allah menuntut sikap memurnikan
hak tasyri’ (membuat syari’at), tahlil (menghalalkan) dan tahrim (menghalalkan)
untuk Allah saja. (Lihat : QS. At-Taubah : 31)
Merealisasikan ketaatan dan memurnikan hak
tasyri’, tahlil dan tahrim untuk Allah semata dan tunduk kepada syari’at adalah
hakikat Islam itu sendiri. Sebagaimana ditegaskan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah :
“Islam mencakup sikap menyerahkan diri kepada
Allah semata. Maka barangsiapa menyerahkan dirinya kepada Allah dan juga kepada
selainnya maka ia telah musyrik. Dan siapa yang tidak menyerahkan dirinya
kepada Allah berarti ia telah menyombongkan dirinya (menolak) untuk beribadah
kepada Allah. Orang yang musyrik dan menyombongkan dirinya untuk beribadah
kepada Allah itu kafir.”
Orang yang berbuat syirik kepada Allah dalam
masalah hukum adalah seperti orang musyrik kepada Allah dalam hal ibadah,
antara keduanya tak ada bedanya, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh
Asy-Syangqithi :
“Berbuat syirik kepada Allah dalam masalah
hukum dan berbuat syirik dalam masalah ibadah itu maknanya sama, sama sekali
tak ada perbedaan antara keduanya. Orang yang mengikuti undang-undang selain
undang-undang Allah dan syari’ay selain syari’at Allah adalah seperti orang
yang menyembah berhala dan sujud kepada berhala, antara keduanya sama sekali
tidak ada perbedaan dari satu sisi sekalipun. Keduanya sama saja dan keduanya
musyrik kepada Allah.”
Maka demi meralisasikan tauhid ibadah yang
berdiri di atas landasan nafyul ilahiyah selain Allah dan mengitsbatnya untuk Allah
saja ini, wajib hukumnya mengkufuri thaghut sebagaimana ditegaskan dalam surat Al-Baqarah : 256.
B. Kedudukannya ditinjau dari
Tauhid Ilmi Khabari
Berhukum dengan hukum Allah termasuk tauhid
rububiyah, karena merupakan pelaksanaan dari hukum Allah yang merupakan
tuntutan dari rububiyah Allah dan kesempurnaan kekuasaan serta hak Allah
mengatur alam ini. Karena itu Allah menyebut orang-orang yang diikuti selain
Allah bukan berdasarkan hukum Allah sebagai arbab (tuhan-tuhan) bagi yang
mengikutinya. (Lihat : QS. At-Taubah : 31)
Rasulullah saw telah menerangkan ibadah
mereka kepada para pendeta dan rahib adalah dengan menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal, bukannya mereka itu shalat, puasa dan berdo’a kepada
para pendeta. Inilah makna beribadah kepada para tokoh. Allah telah menyebutkan
hal ini sebagai sebagai sebuah kesyirikan.
Imam Al-Izzu bin Abdis-Salam
berkata :
“Dan Allah sajalah yang berhak ditaati itu
dikarenakan Allah sajalah yang memberi nikmat berupa menciptakan, menghidupkan,
memberi rizqi, memperbaiki din dan dunia. Tak ada kebaikan kecuali Allah lah
yang menghadirkannya dan tak ada keburukan kecuali Allahlah yang
menghindarkannya… demikian juga tidak ada hak membuat hukum kecuali hak Allah
semata.”
C. Kedudukannya ditinjau dari Tauhid Ittiba’
Maksud dari tauhid ittiba’ adalah
merealisasikan mutaba’ah kepada Rasulullah saw. Imam Ibnu Abil Izz berkata:
“Tauhid ittiba’ artinya menjadikan beliau (Rasulullah saw) sebagai pemutus
perkara, menerima keputusan beliau dengan berserah diri, tunduk dan
melaksanakan perintah beliau.”
Jika demikian halnya, maka tidak diragukan
lagi bahwa berhukum dengan hukum Allah merupakan realisasi dari tauhid ittiba’.
(Lihat : QS. An-Nisa : 65)
Imam Ibnu Katsir
berkata mengenai ayat ini :
“Allah ta’ala bersumpah dengan Dzat-Nya yang
mulia dan suci bahwasanya seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasul
saw sebagai hakim dalam seluruh urusan. Apa yang diputuskan Rasul saw itulah
yang haq yang wajib diikuti secara lahir dan batin.”
Imam Ibnu Qayyim berkata :
“Allah bersumpah dengan Dzat-Nya yang suci
dengan sumpah yang dikuatkan dengan adanya penafian (peniadaan) sebelum
bersumpah atas tidak adanya iman bagi seorang makhluk sampai mereka menjadikan
Rasul saw sebagai hakim (pemutus) segala persoalan di antara mereka, baik
masalah pokok maupun cabang, baik hukum-hukum syar’i maupun hukum-hukum ma’ad
(akhirat). Eksistensi iman tidak hanya ditentukan dengan menjadikan beliau
sebagai hakim, namun harus disertai tidak adanya kesempitan, yaitu hati merasa
sesak. Hati harus merasa lapang selapang-lapangnya dan menerimanya dengan
sepenuhnya. Bahkan eksistensi iman tidak hanya ditentukan dengan dua hal ini
saja, namun harus disertai dengan menerima keputusan beliau dengan ridha dan
penyerahan diri tanpa adanya sikap menentang dan berpaling.”
2. Berwala Kepada Orang-Orang Beriman dan Baro (memusuhi) Orang-Orang
Kafir
Syekh
Muhammad bin Abdul Wahhab berkata :
فإذا عرفت هذا ، عرفت أن الإنسان لا يستقيم إسلام – ولو وحد الله
وترك الشرك – إلا بعداوة المشركين ، والتصريح لهم بالعداوة والبغض كما قال تعالى
في سورة المجادلة : (لا تجد قوما يؤمنون بالله واليوم الآخر يوادون من حاد الله
ورسوله ولو كانوا آباؤهم أو أبناؤهم أو إخوانهم أو عشيرتهم أولئك كتب في قلوبهم
الإيمان) المجادلة : 22.
وقال : (قد كانت لكم أسوة حسنة في إبراهيم والذين معه إذ قالوا
لقومهم إنا برءاء منكم وممما تعبدون من دون الله كفرنا بكم وبدا بيننا وبينكم
العداوة والبغضاء أبدا حتى تؤمنوا بالله وحده) الممتحنة : 4 .
“Apabila anda telah mengerti hal ini (al-wala’ walbara’) maka
mengertilah anda bahwa tidak dikatakan lurus Islam seseorang –walaupun telah
mentauhidkan Allah dan meninggalkan syirik- kecuali dengan memusuhi orang-orang
musyrik secara terang sebagaimana firman Allah swt (Al-Mujadilah : 22 dan
Al-Mumtahanah : 4)”
Syekh
Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abd. Wahhab berkata :
ولازم الحب في الله الموالاة وهي النصرة والإكرام والكون مع
المحبوبين باطنا وظاهرا ، فيه إشارة إلى أنه لا يكفي في ذلك مجرد الحب. ولازم
البغض في الله المعاداة أي إظهار العداوة بالفعل كالجهاد لأعداء الله والبراء منهم
باطنا وظاهرا ، فيه إشارة إلى أنه لا يكفي مجرد بغض القلب .
Cinta karena Allah menuntut al-muwalah yaitu menolong,
menghormati dan bergabung dengan orang-orang yang dicintai Allah secara lahir
dan batin. Yang demikian itu mengisyaratkan bahwa sekedar cinta saja tidak
cukup. Sebaliknya benci karena Allah adalah menampakkan permusuhan dengan
tindakan seperti jihad melawan musuh-musuh Allah dan berlepas diri (bara’) dari
mereka secara lahir dan batin. Yang demikian itu mengisyaratkan bahwa sekedar
benci hati tidak cukup.”
Syekh
Muhammad Sa’id Al Kohtoni berkata :
فلا يكون مؤمنا من لا يكفر بالطاغوت ، وهو كل متبوع أو مرغوب أو
مرهوب من دون الله . فقبول الإيمان والاستمساك بالعروة الوثقى مستلزم للكفر
بالطاغوت ... ومما سبق يتضح أن الولاء في الله هو محبة الله ونصرة دينه و محبة
أوليائه ونصرتهم . والبراء هو بغض أعداء الله ومجاهدتهم ، وعلى ذلك جاء تسمية
الشارع للفريق الأول أولياء الله والفريق الثاني أولياء الشيطان.
“Maka tidak disebut mukmin
orang yang tidak kafir kepada thaghuth yaitu segala sesuatu yang diikuti,
dicintai dan ditakuti selain Allah. Diterimanya iman dan berpegang teguh dengan
“Urwatul Wutsqa” menuntut kafir kepada thaghuth… Dari keterangan sebelumnya
jelaslah bahwasanya wala’ fillah adalah mencintai Allah, menolong din-Nya,
mencintai dan menolong para wali-Nya. Dan Bara’ adalah membenci dan memerangi
musuh-musuh Allah. Karena itulah Allah menjuluki kelompok pertama “Wali Allah”
dan kelompok kedua “Wali Syetan”.
3. Memurnikan Ibadah dan Mutaba’ah
Tauhid juga harus diaplikasikan dalam bentuk
peribadahan, baik ibadah mahdhah (murni) maupun ibadah yang tidak murni. Semuanya
harus dilakukan oleh setiap muslim dengan ikhlas semata mencari ridha dan cinta
Allah swt. Tauhid menuntut seorang muslim untuk berdo’a dan memohon pertolongan
hanya kepada Allah swt, bukan kepada dukun atau para normal. Tauhid juga
menuntut seorang muslim untuk bertawakal hanya kepada Allah. Demikian juga
dalam bernadzar, meyembelih hewan dan yang lainnya, semuanya harus dilakukan
semata untuk dan karena Allah swt.
Tidak cukup semuanya itu dilakukan dengan
ikhlas semata, masih ada satu syarat agar amal ibadah seseorang diterima oleh
Allah swt yaitu melaksanakannya sesuai dengan apa yang telah dituntunkan oleh
Rasulullah saw. (Lihat : QS. Ali Imran : 31 dan Al-Hasyr : 7)
PENUTUP
Demikian, ulasan sederhana ini saya
sajikan kepada ikhwan sekalian. Semoga dapat membantu dalam memurnikan
pemahaman tauhid kita kepada Allah dan dapat diamalkan, didakwahkan dan
diperjuangkan dalam hidup dan kehidupan yang kita jalani. Semoga Allah
senantiasa membimbing kita kepada jalan yang diridhai-Nya serta memberi
kekuatan dan kesabaran dalam menegakkan syariat-Nya di muka bumi ini khususnya
negeri kita Indonesia.