12. IKHLAS DALAM BERINFAQ

12. IKHLAS DALAM BERINFAQ



الحَمْدُ لِلَّهِ الَذِيْ فَتَحَ لِعِبَادِهِ طَرِيْقَ الْفَلاَحِ وَأَرْشَدَهُمْ إِلَى مَا فِيْهِ الْخَيْرِ وَ الْبِرِّ وَ التُقَى وَأَمَرَهُمْ بِالتَنَاصُحِ عَلَى الْحَقِّ وَجَعَلَ أَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ لِيَتَحَقَّقَ لَهُمُ الْفَوْزَ وَالنَجَاةَ . وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ وَالصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى حَبِْيبِنا و شَفِيْعِنا مُحمَّدٍ سَيِّدِ المُرْسَلِيْنَ وَ إِمَامِ المُهْتَدِيْنَ وَ قَائِدِ المُجَاهِدِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.أَمَّا بَعْدُ،،
Jama’ah Shalat Tarawih yang dimulyakan Allah Ta’ala
Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah memberikan kepada kita berbagai kenikmatan mulai nikmat sehat, sempat dan juga nikmat iman dan Islam sehingga dapat menghadiri shalat tarawih secara berjaah pada malam ini.
Shalawat dan salam tercurahkan pada Nabi junjungan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para keluarga, sahabat, tabi’in serta tabi’ut tabi’in serta para pengikutnya hingga hari kiamat.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Islam mengajarkan pada kita sekalian berbagai ibadah lengkap dengan pelaksanaannya. Termasuk di antaranya dalam hal infaq dan shadaqah. Jika seseorang berinfaq dan bershadaqah dengan menjaga adab-adab tersebut, Allah Ta’ala pasti akan menerima shadaqahnya. Akan tetapi jika orang tersebut tidak memperhatikan adab-adab tersebut, maka amalannya akan tertolak dan dianggap sia-sia oleh Allah Ta’ala. Dan di antara adab-adab yang ajarkan islam tersebut antara lain Ikhlas dalam berinfaq.
Dari Sulaiman bin Yasar, dia berkata: Suatu saat, ketika orang-orang mulai bubar meninggalkan majelis Abu Hurairah, maka Natil -salah seorang penduduk Syam- (beliau ini adalah seorang tabi’in yang tinggal di Palestina, pent) berkata kepadanya, “Wahai Syaikh, tuturkanlah kepada kami suatu hadits yang pernah anda dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.”
Abu Hurairah menjawab, “Baiklah. Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah: …. Seorang lelaki yang diberi kelapangan oleh Allah Ta’ala serta mendapatkan karunia berupa segala macam bentuk harta. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah Ta’ala bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Tidak ada satupun kesempatan yang Engkau cintai agar hamba-Mu berinfaq padanya melainkan aku telah berinfaq padanya untuk mencari ridha-Mu.” Allah Ta’ala menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sesungguhnya kamu berinfaq hanya demi mendapatkan sebutan sebagai orang yang dermawan. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah Ta’ala memerintahkan Malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.” [HR. Muslim 1903].
Dari hadits tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa ibadah yang besar bisa menjadi tak berharga gara-gara salah niat. Niat yang benar bisa menjadikan amalan yang kecil menjadi besar di hadapan Allah Ta’ala. Sebaliknya, niat yang salah akan menjadikan amal yang besar menjadi tak berharga dan bahkan mendapat dosa.
Dan sesungguhnya ikhlas tidak akan berkumpul dengan kecintaan kepada pujian dan sifat rakus terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Tidak akan bersatu antara ikhlas di dalam hati dengan kecintaan terhadap pujian dan sanjungan serta ketamakan terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, sebagaimana bersatunya air dengan api atau dhabb/sejenis biawak dengan ikan (musuhnya).” (Al-Fawa’id, hal. 143).
Keikhlasan merupakan sesuatu yang membutuhkan perjuangan dan kesungguh-sungguhan dalam menundukkan hawa nafsu. Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih sulit bagi jiwa manusia selain daripada ikhlas. Karena di dalamnya sama sekali tidak terdapat jatah untuk memuaskan hawa nafsunya.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 26).
Jika Niatnya Hanya untuk mendapat Balasan Dunia
Memang shadaqah dapat melipat gandakan harta seseorang di dunia dan akhirat. Bahkan Allah Ta’ala telah sebutkan dalam Al Qur’an bahwa Ia akan melipat gandakan menjadi 700 kali lipat. Maka pertanyaannya, bolehkah seseorang berinfaq dengan tujuan untuk menjadi kaya? Apakah itu juga mengurangi keikhlasan seseorang dalam berinfaq?
Jika seseorang menggunakan amal shalih sebagai sarana untuk meminta pada Allah Ta’ala, maka hal itu diperbolehkan. Sebagaimana seseorang yang minta untuk dimudahkan rizkinya dengan shadaqah yang ia berikan. Akan tetapi, tentunya tidak boleh meniatkan amal shalih kita hanya untuk mendapatkan kemudahan di dunia saja dengan menghiraukan tujuan akhirat. Maka orang yang seperti ini jika tidak mendapatkan kekayaan tersebut ia akan bersu’udzon kepada Allah Ta’ala. Ia akan berkata : Kenapa aku belum juga dikayakan dan dilapangkan rizkiku, padahal aku telah banyak berinfaq dan shadaqah ?.
Kita harus tetap berhusnudzan kepada Allah Ta’ala. Jika permintaan kita untuk menjadi kaya harta di dunia ini belum terkabul, mungkin karena Allah Ta’ala tahu bahwa kita akan jauh dari-Nya jika menjadi kaya.
Sembunyikan Shadaqah Anda
Islam telah mengajarkan pada kita agar berinfaq dengan sembunyi-sembunyi. Semuanya ini memiliki hikmah agar hilang tujuan-tujuan keduniaan berupa pujian dan sanjungan. Karena memang sulit menjaga hati agar tetap ikhlas saat infaq yang kita keluarkan itu diketahui oleh banyak orang.
Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Anas Ibnul Malik, bahwa Rasulullah bersabda : “Ketika Allah menciptakan bumi diikuti dengan diciptakan gunung sebagai pasak, para malaikat terheran-heran dan bertanya: “Ya Allah, adakah makhluq-Mu yang lebih hebat dari gunung?” Firman Allah: “Ada, yaitu besi”. Adakah yang lebih hebat dari besi? Ada, yaitu api. Adakah yang lebih hebat dari api? Ada yaitu air. Adakah yang lebih hebat dari air? Ada yaitu angin. Adakah yang lebih hebat dari angin? Allah berfirman
نَعَمْ, اِبْنُ آدَمَ يَتَصَدَّقُ صَدَقَةً بِيَمِيْنِهِ يُخْفِيْهَا عَنْ شِمَالِهِ فَهُوَ اَشَدُّ مِنْهُ
Ya, anak Adam yang bersadaqah dengan tangan kanannnya, tidak diketahui tangan kirinya ialah yang lebih hebat”. [ Musnad Imam Ahmad 5/178 ].
Akan tetapi jika ada tujuan-tujuan baik dalam menampakkan shadaqah, atau agar ditiru orang lain, maka hal tersebut diperbolehkan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala :
Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 271)
            Al-Qurthubi berkata: Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat ini tentang shadaqah thathawwu’, sebab menyembunyikannya lebih baik daripada menampakkannya, begitu juga dengan ibadah-ibadah lainnya, menyembunyikan ibadah-ibadah sunnah lebih baik guna menghindarkan terjadinya riya’, bukan seperti ibadah-ibadah wajib”. [Tafsir Al-Qurthubi: 3/332 ].
Demikian yang dapat kami sampaikan. Kita memohon kepada Allah Ta’ala ampunan dan kemudahan dalam berbagai kebaikan.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ.

Pages (11)1234567 Next